Demam tifoid atau typhoid merupakan salah satu jenis penyakit infeksi bakteri yang banyak ditemukan di Negara kita, baik pada anak maupun dewasa. Demam tifoid pada anak terbanyak terjadi pada umur 5 tahun atau lebih dan memiliki manifestasi ringan. Makin muda umur anak, gejala klinis demam tifoid semakin tidak khas. Perbedaan lain antara demam tifoid anak dengan dewasa adalah mortalitas demam tifoid pada anak lebih rendah bila dibandingkan dengan dewasa. Risiko terjadinya komplikasi fatal terutama dijumpai pada anak besar dengan manifestasi klinis berat, menyerupai kasus dewasa.1,2

Demam tifoid merupakan masalah global terutama di negara dengan higiene buruk2. Etiologi utama di Indonesia adalah Salmonella enterika subspesies enterika serovar Typhi (S.Typhi) dan Salmonella enterika subspesies enterika serovar Paratyphi A (S. Paratyphi A). Diperkirakan angka kejadian 150/100.000/tahun di Amerika Selatan dan 900/100.000/tahun di Asia3. Center for Disease Control (CDC) Indonesia melaporkan prevalensi demam tifoid mencapai 358-810/100.000 populasi pada tahun 2007 dengan 64% penyakit ditemukan pada usia 3-19 tahun, dan angka mortalitas bervariasiantara 3,1 – 10,4 % pada pasien rawat inap4. Menurut Buku ajar Infeksi dan Pediatri Tropis tahun 2010, umur penderita yang terkena di Indonesia (daerah endemis) dilaporkan antara usia 3 – 19 tahun mencapai 91% kasus3.

Pada lima tahun terakhir ini, para klinisi di beberapa Negara mengamati adanya kasus demam tifoid anak yang berat bahkan fatal, yang ternyata disebabkan oleh strain Salmonella typhi yang telah resisten terhadap antibiotik yang lazim dipergunakan untuk pengobatan demam tifoid. Strain Salmonella typhi yang resisten terhadap 2 atau lebih jenis antibiotik yang lazim dipergunakan yaitu ampisilin, kloramfenikol, dan kotrimoksazol dinamai strain multi drug resistance (MDR) Salmonella typhi. Dengan ditemukannya MDR Salmonella typhi, maka pemilihan antibiotik yang tepat akan menjadi masalah, termasuk kendala biaya1.

Untuk infeksi Salmonela. Keampuhan kloramfenikol pada pengobatan demam tifoid telah diakui berdasarkan efektifitasnya terhadap Salmonella typhi di samping harga obat relatif murah. Setelah kloramfenikol bertahan sekitar 25 tahun, dilaporkan oleh beberapa peneliti di berbagai negara adanya strain Salmonella typhi yang resisten terhadap kloramfenikol. Peneliti India melaporkan adanya kasus demam tifoid yang resisten terhadap kloramfenikol pada tahun 1970, sedangkan di Mexico pertama kali dilaporkan pada tahun 1972. Resistensi tersebut ternyata diikuti oleh adanya resistensi Salmonella typhi terhadap obat-obat lain yang biasa dipergunakan untuk mengobati demam tifoid. Di negara berkembang, antibiotik yang tersedia untuk pengobatan demam tifoid adalah ampisilin, kloramfenikol, dan kotrimoksazol.1,2

Melihat perkembangan MDR strain Salmonella typhi, yang begitu cepat di beberapa negara sehingga mengakibatkan mortalitas tifoid pada anak meningkat, maka telah dilakukan pengamatan resistensi Salmonella typhi pada anak yang didiagnosis secara klinis demam tifoid di Bagian Ilmu Kesehatan RSCM jakarta. Penelitian dilakukan pada tahun 1990-1994. Selama waktu penelitian telah dirawat 645 orang anak dengan diagnosis klinis demam tifoid,131 (20,3%) dikonfirmasi dengan biakan positif terhadap Salmonella typhi, dan 61 (9,5%) kasus diantaranya mempunyai hasil uji resistensi. Kelompok umur 59 tahun merupakan proporsi terbanyak (48,9%), sedangkan 18 (13,6%) kasus adalah kelompok balita, terdiri dari 60 (45,8%) anak laki-laki dan 71 (54,2%) anak perempuan1.

Perlu penanganan yang tepat dan komprehensif agar dapat memberikan pelayanan yang tepat terhadap pasien. Tidak hanya dengan pemberian antibiotika, namun diperlukannya juga pengaturan diet yang tepat dan perawatan medis (medical care) yang baik dan benar agar proses penyembuhan dapat bejalan secara optimal.

1.2 Batasan Masalah
Referat ini membahas penatalaksanaan demam tifoid pada anak

1.3 Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan referat ini adalah:
1. Mengetahui Penatalaksanaan Demam Tifoid
2. Meningkatkan kemampuan dalam menulis ilmiah di bidang kedokteran
3. memenuhi salah satu syarat kelulusan kepaniteraan klinik senior di bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Riau RSUD Arifin Ahmad Pekanbaru.

1.4 Metode Penulisan
Penulisan ini menggunakan metode tinjauan pustaka dengan mengacu pada beberapa literatur.

BAB II
TUNJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Demam tifoid (tifus abdominalis, enteric fever) adalah penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat pada saluran pencernaan dengan gejala demam yang lebih dari 7 hari, gangguan pada saluran pencernaan dengan atau tanpa gangguan kesadaran.3,4,5

2.2 Etiologi
Demam tifoid disebabkan oleh Salmonella typhi (S. typhi), basil gram negatif, berflagel, dan tidak berspora. S. typhi memiliki 3 macam antigen yaitu antigen O (somatik berupa kompleks polisakarida), antigen H (flagel), dan antigen Vi. Dalam serum penderita demam tifoid akan terbentuk antibodi terhadap ketiga macam antigen tersebut.1,4

2.3 Patogenesis
Infeksi S.typhi terjadi pada saluran pencernaan. Basil diserap di usus halus kemudian melalui pembuluh limfe masuk ke peredaran darah sampai di organ-organterutama hati dan limpa. Basil yang tidak dihancurkan berkembang biak dalam hati dan limpa sehingga organ-organ tersebut akan membesar disertai nyeri pada perabaan. Kemudian basil masuk kembali ke dalam darah (bakteremia) dan menyebar ke seluruh tubuh terutama ke dalam kelenjar limfoid usus halus, menimbulkan tukak pada mukosa diatas plaque peyeri. Tukak tersebut dapat mengakibatkan perdarahan dan perforasi usus. Gejala demam disebabkan oleh endotoksin yang dieksresikan oleh basil S.typhi sedangkan gejala pada saluran pencernaan disebabkan oleh kelainan pada usus.1,4

Referat, Makalah:
Lengkap link berikut: Download .doc